H. Soeharto, seorang jurnalis veteran Surabaya Post yang lahir di Surabaya 19 Maret 1943, pernah mengalami musibah dahsyat yang tak akan pernah dilupakan seumur hidup. Ia adalah salah satu dari korban yang selamat dari tragedi jatuhnya pesawat jamaah haji Indonesia 15 Nopember 1978, di Kolombo, Srilanka.
Peristiwa itu menjadi titik balik kehidupan spiritualnya. Betapa tidak, tragedi itu telah merenggut ratusan jamaah haji Indonesia. Namun, atas kehendak Allah, Soeharto adalah salah satu dari segelintir korban yang selamat dalam tragedi itu.
Bagi Soeharto, perjalanan haji tahun 1978 itu sebenarnya perjalanan tugas jurnalistik. Sebagai wartawan Surabaya Post kala itu, pria yang sudah keliling puluhan kota besar di lima benua itu, harus melaksanakan tugas jurnalistik khusus, berupa liputan haji langsung di tanah suci Mekkah. Tentu itu kesempatan baru baginya, sekaligus kesempatan menunaikan ibadah puncak rukun Islam kelima.
"Sejujurnya, saya merasakan getaran ketika menerima tugas istimewa ini, ada rasa bangga karena meliput ibadah sakral yang diimpikan setiap orang muslim," ujar Soeharto dalam bukunya berjudul Menunggu Nikmat Ketiga.
Baca Juga:5 Fakta Rafael Alun Trisambodo Tersangka KPK: Terima Gratifikasi 12 Tahun
Namun ia merasa bimbang, karena merasa kurang bekal pengetahuan soal ibadah haji. Ditambah lagi kurangnya persiapan rohani. Bahkan dengan polos disampaikan selama ini, ia belum menunaikan ibadah rukun Islam apa pun, selain sholat Idul Fitri. Namun, ia tetap bertekad melaksanakan tugas tersebut dengan penuh hati dan rasa bangga.
“Memang, persiapan fisik saya tak cukup, apalagi pengetahuan saya tentang ibadah haji, malah jauh dari cukup,” ujar H. Soeharto dalam bukunya.
Musibah Haji Indonesia di Colombo itu bukan sekedar menjadi berita besar, Namun mengandung banyak pesan dan hikmah spiritual bagi H. Soeharto. Selain sebagai teguran, karena sebelumnya ia sekedar muslim yang tidak melaksanakan kewajiban ibadah alias Islam KTP.
Disadari sepenuhnya musibah itu ternyata bagian dari rentetan berkah dan hidayah baginya. Musibah Kolombo tersebut telah membuka kesadaran religius bagi Soeharto.
“Pelan dan pasti, dan tentunya dengan tekad bulat, saya mulai memperlajari Islam dengan niat sepenuh hati. Berbagai kajian islam di banyak masjid saya datangi meskipun jaraknya jauh. Masjid Alfalah Darmo, Masjid Mujahidin Perak, Masjid Ulil Albab Uinsa, Masjid Manarul Ilmi ITS, Masjid Chengho adalah sejumlah masjid yang selalu rutin didatangi untuk bisa menunaikan sholat berjamaah dan mendengarkan kajian Islam,” ujar H. Soeharto.
Baca Juga:Mau Pakai eSIM Smartfren Cukup Telepon ke Call Center, Mudah Banget
Setelah 25 tahun menuntaskan kiprahnya di dunia jurnalistik, ia memutuskan gantung tinta alias pensiun. Kemudian tahun 1995 beralih profesi bergabung di Perusahaan Bisnis Grup Maspion, dengan beberapa jabatan, di antaranya menjadi salah satu Asisten Direksi.
Beberapa tahun terakhir, H. Soeharto mengajukan pensiun dari Maspion, dengan harapan lebih bisa fokus menunaikan ibadah dan melakukan kegiatan sosial.
“Saya terus ingin meningkatkan pengetahuan Islam, ajaran agama, serta kemampuan di bidang tartil Alquran,” ujarnya.
Selain fokus ibadah , berbagai kegiatan social pun dilakukan. Di antaranya menjadi orang tua asuh, menyantuni fakir miskin dan yatim piatu, membantu pembangunan musholla atau masjid.
Soeharto berharap, dirinya dapat terus meningkatkan kualitas ibadah, baik ibadah mahdhoh, maupun ibadah sosial sebagai wujud menunaikan kewajiban hablum minalloh dan hablum minannas.
“Terlebih sejak musibah haji di Colombo itu, saya seperti dilahirkan kembali. Itu rahmat, taufiq, dan hidayah yang harus selalu saya syukuri. Saya ingin menyukuri nikmat itu dengan memperbaiki ilmu, iman, dan amal sesuai kemampuan, sampai Alloh memanggil saya kapan pun. Wallohu a’lam,” ujar Soeharto.